MERASA bahagia dan selalu berpikir positif adalah salah satu kunci penting dalam menjalani kehidupan. Dengan perasaan optimistis dan bahagia, risiko terserang berbagai penyakit pun dapat ditekan seminimal mungkin.
Pentingnya perasaan positif dan bahagia tercermin dari sebuah riset belum lama ini yang dimuat BioMed Central journal BMC Cancer. Hasil riset mengindikasikan wanita yang bahagia dan berpikir positif cenderung berisiko lebih rendah mengidap penyakit kanker payudara.
Dr Ronit Peled dari Ben-Gurion University of the Negev di Beer Sheva, Israel, dalam hasil risetnya menyatakan bahwa kebahagiaan dan optimisme mampu menekan risiko kanker payudara pada wanita hingga 25 persen. Sedangkan pengalaman atau kejadian traumatis seperti perceraian atau kehilangan seseorang yang dicintai dapat memburuk risiko.
“Kami secara hati-hati dapat menyatakan bahwa mengalami satu atau lebih kejadian menyedihkan adalah sebuah faktor risiko kanker payudara pada wanita muda. Di lain pihak, perasaan akan bahagia dan optimisme dapat memberikan perlindungan. Wanita muda yang mengalami sejumlah pengalaman buruk dalam hidupnya dipertimbangkan sebagai kelompok yang berisiko kanker payudara dan oleh sebab itu harus ditangani,'' ungkap Ronit Peled.
Tetapi Peled menekankan bahwa hasil risetnya jangan diartikan bahwa rasa bahagia dan optimisme menjadi gerbang utama untuk terhindar dari penyakit kanker payudara. "Konsumsi makan yang baik dan aktif secara fisik merupakan faktor yang harus diperhitungkan," tambahnya.
Dr Peled dan timnya meneliti sejumlah faktor yang berkaitan dengan stres psikologis seperti kehilangan orangtua sebelum berusia 20 tahun dan kaitannya dengan risiko kanker.Peled melakukan penelitian ini dilatarbelakangi tingginya faktor risiko kanker payudara yang dialami wanita Israel. Lebih-lebih wanita Israel kerap kerap disebut kelompok dengan risiko tertinggi di dunia dalam hal kanker payudara.
Sebanyak 255 wanita usia 25 - 45 tahun yang terindikasi kanker paru dilibatkan bersama 367 wanita usia sama yang tidak mengalami kanker. Peled dan timnya menanyakan sejumlah hal kepada para wanita seperti pandangan akan masa depan dan pengalaman traumatis akibat penyakit, kehilangan pekerjaan, perceraian hingga kematian.
Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan yang jelas antara cara berpikir wanita dengan risiko mengidap kanker payudara. Mereka yang berpikir optimistis mencatat risiko 25 persen lebih rendah mengidap kanker. Sementra wanita yang mengalami dua atau tiga kejadian atau pengalaman traumatis mengalami peningkatan risiko sebesar 62 persen.
"Ditemukan bahwa perasaaan bahagia dan optimisme memberikan dampak protektif ," ujar peneliti .
[kompas.com]
Let's Thinking Positive
Minggu, 03 Mei 2009
Minggu, 26 April 2009
CUKUPKAH BERPIKIR POSITIF ? (Bag.3)
Hal-hal Apakah yang Perlu Dijalani?
(Sebelumnya) Diatas sudah kita singgung bahwa menggunakan pikiran positif sebagai jalan berarti setelah kita berpikir positif masih ada proses positif yang perlu kita jalani. Apa yang perlu untuk dijalani?
1. Temukan pelajaran khusus
Entah sadar atau tidak, kerapkali istilah berpikir positif ini hanya kita praktekkan sebatas berprasangka baik, meyakini adanya hikmah yang mencerahkan, atau sebatas punya opini positif. Tentu ini sudah benar dan sudah baik tetapi kalau kita kaitkan dengan hasil sedikit dan hasil yang lebih banyak, maka proses positif yang perlu kita lakukan adalah mengaktifkan pikiran kita untuk menemukan pelajaran-pelajaran spesifik yang benar-benar cocok dan relevan dengan keadaan-diri kita pada hari ini.
Sebut saja misalnya kita gagal dalam usaha. Memang sudah benar kalau kita berpikir bahwa di balik kegagalan itu ada hikmah buat kita. Hanya saja hikmah di sini mengandung pengertian yang seluas isi daratan, alias masih umum. Kegagalan usaha kita bisa disebabkan oleh waktu yang belum tepat, kesalahan memilih orang, kurang gigih, kurang skill, keadaan eksternal yang di luar kontrol, dan lain-lain. Karena tidak mungkin kita menyerap hikmah secara keseluruhan dalam satu waktu, maka yang paling penting adalah menyerap hikmah yang relevan saja sebagai bahan mengoreksi diri.
2. Gunakan dalam hal khusus
Banyak pengalaman yang sudah menguji bahwa memiliki rumusan tujuan yang jelas dan jelas-jelas diperjuangkan, ternyata memiliki manfaat cukup besar bagi proses positif. Dengan kata lain, untuk bisa menggunakan pelajaran yang sudah kita serap menuntut adanya rumusan tujuan yang kita upayakan realisasinya. Tanpa ini, mungkin saja pelajaran positif yang kita temukan itu akan nganggur alias kurang banyak manfaatnya.
J.M. Barrie memberikan contoh dari pengalamannya: “Selama lebih dari 30 tahun saya memimpin, saya sampai pada kesimpulan bahwa yang paling penting di sini adalah memiliki kemampuan yang saya sebut “kegagalan maju”. Kemampuan ini bukan sekedar memiliki sikap positif terhadap kesalahan. Kegagalan maju adalah kemampuan untuk bangkit setelah anda dipukul mundur, kemampuan untuk belajar dari kesalahan dan kemampuan untuk melangkah maju ke arah yang lebih baik.”
Dengan kata lain, agar kita bisa menjadikan kegagalan kita sebagai dorongan untuk meraih kemajuan tidak cukup hanya dengan memiliki pikiran positif dan sikap positif atas kegagalan itu, melainkan dibutuhkan upaya kita untuk menggunakan pelajaran yang sudah kita dapatkan dalam usaha meraih keinginan berikutnya. Pelajaran, pengetahuan, dan petunjuk pengalaman yang tidak kita gunakan untuk membimbing praktek kita pada hari ini akan menjadi dokuman yang nilai dan manfaatnya kurang.
3. Membuka Diri
Seperti yang sudah kita singgung di muka bahwa pelajaran positif yang ada di balik satu masalah, satu kenyataan buruk, atau di balik peristiwa yang kita alami dalam praktek hidup itu sangatlah tidak terbatas, tidak tunggal, tidak mono, dan karena itu sering disebut petunjuk (hidayah). Saking banyaknya itu, maka tidak mungkin ruangan milik kita bisa sanggup menyerap seluruhnya dan sekaligus sehingga yang dibutuhkan adalah membuka diri atas berbagai pelajaran positif yang diwahyukan oleh kesalahan kita, kesalahan orang lain yang kita lihat, temuan ilmu pengetahuan, nasehat, dan seterusnya.
Cak Nur pernah berpesan: “Sikap terbuka adalah sebagian dari pada iman. Sebab seseorang tidak mungkin menerima pencerahan dan kebenaran jika dia tidak terbuka.” Sikap terbuka menurut Ajaran Kejawen (Javanese Spiritual Doktrine) merupakan syarat untuk mengarungi jagat “kaweruh” (sains, tehnologi, dst). “Syarat utama bagi pelajar adalah memiliki kemampuan dalam menghilangkan atau menyimpan untuk sementara waktu pemahaman dogmatis yang telah dimiliki dan mempersiapkan diri dengan keterbukaan hati-pikiran untuk merambah jagat ilmu pengetahuan. Selamat menggunakan. (jp)
Let's Thinking Positive
(Sebelumnya) Diatas sudah kita singgung bahwa menggunakan pikiran positif sebagai jalan berarti setelah kita berpikir positif masih ada proses positif yang perlu kita jalani. Apa yang perlu untuk dijalani?
1. Temukan pelajaran khusus
Entah sadar atau tidak, kerapkali istilah berpikir positif ini hanya kita praktekkan sebatas berprasangka baik, meyakini adanya hikmah yang mencerahkan, atau sebatas punya opini positif. Tentu ini sudah benar dan sudah baik tetapi kalau kita kaitkan dengan hasil sedikit dan hasil yang lebih banyak, maka proses positif yang perlu kita lakukan adalah mengaktifkan pikiran kita untuk menemukan pelajaran-pelajaran spesifik yang benar-benar cocok dan relevan dengan keadaan-diri kita pada hari ini.
Sebut saja misalnya kita gagal dalam usaha. Memang sudah benar kalau kita berpikir bahwa di balik kegagalan itu ada hikmah buat kita. Hanya saja hikmah di sini mengandung pengertian yang seluas isi daratan, alias masih umum. Kegagalan usaha kita bisa disebabkan oleh waktu yang belum tepat, kesalahan memilih orang, kurang gigih, kurang skill, keadaan eksternal yang di luar kontrol, dan lain-lain. Karena tidak mungkin kita menyerap hikmah secara keseluruhan dalam satu waktu, maka yang paling penting adalah menyerap hikmah yang relevan saja sebagai bahan mengoreksi diri.
2. Gunakan dalam hal khusus
Banyak pengalaman yang sudah menguji bahwa memiliki rumusan tujuan yang jelas dan jelas-jelas diperjuangkan, ternyata memiliki manfaat cukup besar bagi proses positif. Dengan kata lain, untuk bisa menggunakan pelajaran yang sudah kita serap menuntut adanya rumusan tujuan yang kita upayakan realisasinya. Tanpa ini, mungkin saja pelajaran positif yang kita temukan itu akan nganggur alias kurang banyak manfaatnya.
J.M. Barrie memberikan contoh dari pengalamannya: “Selama lebih dari 30 tahun saya memimpin, saya sampai pada kesimpulan bahwa yang paling penting di sini adalah memiliki kemampuan yang saya sebut “kegagalan maju”. Kemampuan ini bukan sekedar memiliki sikap positif terhadap kesalahan. Kegagalan maju adalah kemampuan untuk bangkit setelah anda dipukul mundur, kemampuan untuk belajar dari kesalahan dan kemampuan untuk melangkah maju ke arah yang lebih baik.”
Dengan kata lain, agar kita bisa menjadikan kegagalan kita sebagai dorongan untuk meraih kemajuan tidak cukup hanya dengan memiliki pikiran positif dan sikap positif atas kegagalan itu, melainkan dibutuhkan upaya kita untuk menggunakan pelajaran yang sudah kita dapatkan dalam usaha meraih keinginan berikutnya. Pelajaran, pengetahuan, dan petunjuk pengalaman yang tidak kita gunakan untuk membimbing praktek kita pada hari ini akan menjadi dokuman yang nilai dan manfaatnya kurang.
3. Membuka Diri
Seperti yang sudah kita singgung di muka bahwa pelajaran positif yang ada di balik satu masalah, satu kenyataan buruk, atau di balik peristiwa yang kita alami dalam praktek hidup itu sangatlah tidak terbatas, tidak tunggal, tidak mono, dan karena itu sering disebut petunjuk (hidayah). Saking banyaknya itu, maka tidak mungkin ruangan milik kita bisa sanggup menyerap seluruhnya dan sekaligus sehingga yang dibutuhkan adalah membuka diri atas berbagai pelajaran positif yang diwahyukan oleh kesalahan kita, kesalahan orang lain yang kita lihat, temuan ilmu pengetahuan, nasehat, dan seterusnya.
Cak Nur pernah berpesan: “Sikap terbuka adalah sebagian dari pada iman. Sebab seseorang tidak mungkin menerima pencerahan dan kebenaran jika dia tidak terbuka.” Sikap terbuka menurut Ajaran Kejawen (Javanese Spiritual Doktrine) merupakan syarat untuk mengarungi jagat “kaweruh” (sains, tehnologi, dst). “Syarat utama bagi pelajar adalah memiliki kemampuan dalam menghilangkan atau menyimpan untuk sementara waktu pemahaman dogmatis yang telah dimiliki dan mempersiapkan diri dengan keterbukaan hati-pikiran untuk merambah jagat ilmu pengetahuan. Selamat menggunakan. (jp)
Let's Thinking Positive
Langganan:
Postingan (Atom)